Wujudkan Cita Umat

NE

News Elementor

What's Hot

Hukum Laki-Laki Menikahi Ibu Mertuanya

Table of Content

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Assalamu’alaikum, Ustadz, saya mau tanya syarah kitab An-Nizham Al-Ijtima’i, bab wanita yang haram dinikahi. Ada kalimat, mertua, menantu haram dinikahi karena “semata aqad pernikahan.” Btw kalau kasusnya begini, si A laki-laki dan si B bercerai, apakah si A boleh menikahi ortunya si B (mantan ibu mertuanya?). Kasus terpisah, si A laki-laki dan si B berpisah, apakah ortu laki-laki si A boleh menikahi si B (mantan menantu?) Termasuk pembahasan pada menantu Ustadz, ada kalimat “semata mata karena adanya akad perkawinan” dengan si B, itu maksudnya bagaimana Ustadz? Apakah ketika si A laki-laki dan si B bercerai, kan akadnya sudah tidak ada akad pernikahan jadi ortunya si A boleh menikahi si B (mantan menantu?) (Alghifari, Bumi Allah).

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuhu

Intisari pertanyaan Anda, sejauh yang dapat kami pahami, adalah,”Apa hukumnya laki-laki menikahi ibu mertuanya, jika laki-laki itu sudah bercerai dengan istrinya, yang merupakan anak kandung perempuan dari ibu mertuanya itu?”

Jawabannya, haram hukumnya laki-laki itu menikahi ibu mertuanya itu, meskipun laki-laki itu sudah bercerai dengan istrinya tersebut, sesuai firman Allah SWT :

وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ

“(Diharamkan atas kamu menikahi) ibu-ibu dari istrimu (ibu mertua).” (QS An-Nisa` [4] : 23).

Ayat tersebut dengan jelas telah mengharamkan seorang laki-laki menikahi ibu mertuanya, hanya dengan akad nikah yang terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Maksudnya, baik laki-laki itu sudah menggauli istrinya maupun belum menggauli istrinya, sudah haram hukumnya laki-laki itu menikahi ibu mertuanya, yaitu ibu dari perempuan itu.

Dalam kitab Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata :

وَيَحْرُمُ نِكاحُ أُمَّهاتِ النِّساءِ ، فَمَن تَزَوَّجَ امْرَأَةً حُرِّمَ عَلَيْهِ كُلُّ أُمٍّ لَهَا مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ . . . بِمُجَرَّدِ العَقْدِ ، سَواءٌ دَخَلَ بِهَا أَمْ لَمْ يَدْخُلْ

“Haram hukumnya [seorang laki-laki] menikahi ibunya istri (ibu mertua). Maka barangsiapa [laki-laki] yang telah menikahi seorang perempuan, diharamkan atas laki-laki itu untuk menikahi setiap ibu dari perempuan itu, baik itu ibu kandung maupun ibu persusuan…hanya dengan adanya akad nikah, baik laki-laki itu sudah menggauli perempuan itu maupun belum  menggaulinya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām, hlm. 116).

Jadi, kalimat “hanya dengan adanya akad nikah” (بِمُجَرَّدِ العَقْدِ) maksudnya adalah, tanpa dipersyaratkan adanya jima’ (hubungan seksual) di antara keduanya (laki-laki dan perempuan yang dinikahinya), maka ibu si perempuan (yaitu ibu mertua) sudah menjadi mahram abadi (mahram mu`abbad) bagi laki-laki tersebut, walaupun laki-laki itu belum menggauli (ber-jima’) dengan perempuan yang dinikahinya.

Ini berbeda dengan laki-laki yang menikahi seorang perempuan (janda), yang mempunyai anak perempuan, dari pernikahan sebelumnya. Ketika laki-laki itu melakukan akad nikah dengan perempuan (janda) tersebut, apakah laki-laki itu sudah menjadi mahram bagi anak perempuan dari janda tersebut? Jawabannya, belum, selama laki-laki itu baru sekedar melakukan akad nikah, tetapi belum menggauli perempuan (janda) yang dinikahinya. Nah, anak perempuan dari janda tadi, baru menjadi mahram abadi (mahram mu`abbad) bagi laki-laki tersebut, jika laki-laki itu sudah menggauli perempuan janda yang dinikahinya (yaitu ibu dari perempuan tersebut). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fī Al-Islām, hlm. 116).

Dalilnya adalah firman Allah SWT :

وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ

“(Diharamkan atas kamu menikahi) anak-anak perempuan dari istrimu (anak perempuan tiri) yang ada dalam pemeliharaanmu dari istri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan istrimu itu), maka tidak berdosa kamu (menikahi anak perempuan tiri itu).” (QS An-Nisa` [4] : 23).

Berdasarkan ayat ini, jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan (janda), yang mempunyai anak perempuan, maka laki-laki ini baru menjadi mahram bagi anak perempuan tersebut jika laki-laki itu sudah menggauli perempuan (janda) tersebut. Jadi andaikata, laki-laki itu sudah melakukan akad nikah dengan perempuan (janda) tersebut, tetapi laki-laki itu belum sempat menggaulinya, lalu laki-laki itu bercerai dengan perempuan (janda) itu, boleh hukumnya laki-laki itu menikahi anak perempuan dari perempuan (janda) yang sudah diceraikan oleh laki-laki itu.

Demikianlah penjelasan kami, semoga dapat dipahami. Wallāhu a’lam.

Yogyakarta, 21 Mei 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.

amaniyat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tulisan terkait

Trending News

Editor's Picks

Jihad dan Khilafah Demi Kemuliaan Perempuan Palestina

Laporan PBB terbaru menyatakan bahwa 85 persen wilayah Jalur Gaza kini berada dalam zona militerisasi Israel. Hal ini sangat menghambat distribusi bantuan kemanusiaan dan memperburuk kondisi masyarakat sipil yang terdampak. Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stéphane Dujarric, mengungkapkan, Israel memerintahkan pemindahan terbaru terhadap dua lingkungan padat penduduk di Khan Younis, yang menampung hingga 80.000 warga....

Menangis karena Allah Taala

Muslimah News, KISAH INSPIRATIF — Dikisahkan, Utbah pernah menangis di majelis gurunya, Abdul Wahid bin Zaid selama sembilan tahun. Jika gurunya mulai menasihati, Utbah menangis sampai sang guru selesai. Orang-orang pernah meminta Abdul Wahid untuk menghentikan tangis Utbah karena merasa terganggu. Namun, Abdul Wahid juga termasuk orang yang biasa menangis karena Allah. Ia lalu berkata,...

TERLANJUR PINJAM UANG DARI BANK, BENARKAH WAJIB BAYAR BUNGANYA KARENA SUDAH DISEPAKATI?

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi   Tanya : Ustadz, ada fatwa MUI yang menyatakan kalau seseorang terlanjur utang ke bank, maka dia tetap wajib membayar bunganya, sesuai hadits Nabi SAW : “Kaum muslimin terikat dengan syarat dan ketentuan yang disepakati.” (Fatwa terlampir, sumber di sosmed mereka : https://www.facebook.com/share/p/1A3NzzUAWN/). Bagaimana menurut Ustadz? (Firli, Yogyakarta)  ...

Wujudkkan Cita Umat

Artikel Pilihan

©2025- All Right Reserved.