Pada April 2025, Presiden Donald Trump menerapkan kebijakan proteksionis dengan tarif 10% untuk hampir semua barang impor, termasuk tarif khusus 145% untuk produk dari Cina, 25% untuk Kanada dan Meksiko dan 32% untuk Indonesia. Menyadari dampak buruknya, Trump menunda 90 hari kebijakan tersebut untuk mendorong negosiasi. Indonesia telah berkomitmen meningkatkan impor dari AS, seperti LPG dan produk pertanian. Cina, setelah melakukan pembalasan kenaikan tarif 125% untuk barang AS, menyepakati penurunan tarif tertentu melalui pembicaraan bilateral.
Kebijakan Presiden AS tersebut merupakan inti dari agenda “Make America Great Again” (MAGA) untuk mengatasi kemunduran ekonomi AS, terutama di sektor manufaktur yang kehilangan daya saing selama empat dekade akibat defisit kembar. Tujuannya adalah mendorong relokasi investasi ke AS, menciptakan lapangan kerja dan memperkuat industri domestik negara itu. Kebijakan ini dijustifikasi dengan alasan keamanan nasional terutama ditujukan kepada Cina yang dianggap melakukan perdagangan yang tidak fair dengan AS.
Dampak perubahan kebijakan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian sehingga mengganggu perdagangan global dan menciptakan instabilitas ekonomi global dan domestik. Sebelum penundaan tarif tersebut, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2025 menjadi 2,8% dari 3,3% pada 2024. Bagi Indonesia, ketidakpastian ini sempat menimbulkan gejolak berupa pelemahan rupiah ke level Rp17.000 per dolar AS, penurunan IHSG dan peningkatan suku bunga obligasi pemerintah hingga 7%. Jika kenaikan tarif tetap diberlakukan maka nilai ekspor Indonesia seperti elektronik, pakaian dan alas kaki berisiko menurun. Ini akan menyebabkan penurunan produksi domestik dan ancaman terhadap lapangan kerja.
Perdagangan Luar Negeri dalam Islam
Islam menerapkan prinsip bahwa hukum perdagangan mengikuti status pemilik atau pedagang (i’tibâr ash-shakhs), bukan jenis barang atau asal barangnya (i’tibâr al-mâl). Dengan kata lain, barang dagangan mengikuti hukum yang berlaku pada pemiliknya. Prinsip ini kontras dengan sistem kapitalis modern. Dalam saistem ini, aturan perdagangan yang terkait dengan pengenaan aturan tarif dan non-tarif ditentukan berdasarkan asal negara barang (country of origin), jenis barang seperti tarif berbeda untuk elektronik versus tekstil, atau nilai barang. Status kewarganegaraan pedagang dan status kepemilikannya tidak menjadi faktor utama dalam penentuan tarif. Dengan demikian semua importir dikenakan tarif sesuai barang dan negara asal terlepas dari status warga negara pemilik barang tersebut.
Pedagang yang terlibat dalam perdagangan internasional diklasifikasikan menjadi empat kategori utama. Pertama: Rakyat Negara Islam (Khilafah Islam) yang terdiri dari Muslim dan dzimmi (penduduk non-Muslim Negara Islam). Kedua: Pedagang mu’aahad, yaitu mereka yang berasal dari negara yang memiliki perjanjian dengan Negara Islam. Ketiga: Pedagang harbi hukm[an], yaitu mereka yang berasal dari negara yang tidak memiliki perjanjian dan berpotensi bermusuhan dengan Negara Islam. Pedagang harbi hanya boleh memasuki wilayah Islam dengan izin khusus (aman). Keempat: Pedagang harbi fi’l[an], yaitu mereka yang berasal dari negara yang tidak memiliki perjanjian dan sedang berperang dengan Negara Islam, seperti Israel. Untuk kategori keempat ini, penduduk dan Negara Islam tidak diperbolehkan melakukan perdagangan dengan mereka.
Dalam sistem perdagangan internasional Islam, status kepemilikan barang menentukan perlakuan penerapan bea masuk (‘usyur) saat melewati perbatasan. Prinsip dasarnya adalah barang milik Muslim dan dzimmi tidak dikenai ‘usyur berdasarkan Hadis Rasulullah saw.: “Tidak akan masuk surga sahib maks (pemungut cukai)” (HR Ahmad dan Abu Ubaid).
Umar bin al-Khaththab ra. Berkata, “Kami tidak pernah mengambil ‘usyur dari Muslim dan mu’aahad. Kami hanya mengambil dari pedagang harbi sebagaimana mereka mengambil dari pedagang kami.” (HR Abu Ubaid).
Adapun barang milik pedagang harbi dapat dikenai ‘usyur sesuai prinsip timbal-balik.
Secara teknis, yang menentukan aturan perdagangan seperti bea masuk adalah siapa yang memiliki barang tersebut secara sempurna. Ini ditandai dengan sempurnanya transaksi jual-beli dari segala aspeknya saat melewati perbatasan Negara Islam. Sebagai gambaran, dalam praktik saat ini, pada metode pengiriman barang seperti FOB (Free on Board) dan CIF (Cost, Insurance, and Freight)1, meskipun risiko kerusakan atau kehilangan telah berpindah kepada pembeli saat barang dimuat ke kapal, kepemilikan hukum tidak otomatis berpindah pada saat yang sama. Kepemilikan hukum baru berpindah sempurna ketika bukti kepemilikan (Bill of Lading) diserahkan kepada pembeli dan persyaratan pembayaran telah dipenuhi sesuai kontrak. Sebaliknya, dalam sistem DDP (Delivered Duty Paid) di mana kepemilikan belum berpindah sempurna hingga barang tiba di tujuan akhir dan pembayaran dilakukan, barang masih dianggap milik eksportir asing. Implementasi praktis dari prinsip-prinsip ini akan diatur oleh Khalifah berdasarkan hukum-hukum syariah.
Politik Perdagangan Luar Negeri Negara Islam
Perdagangan luar negeri dalam perspektif Islam memiliki kerangka konseptual yang berbeda dari teori-teori ekonomi konvensional. Islam memandang perdagangan internasional bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan sebagai instrumen komprehensif yang mengintegrasikan dimensi politik, ekonomi, dan dakwah dalam mencapai kemuliaan Islam dan kemaslahatan umat. Ini berbeda dengan teori perdagangan bebas yang mendorong peran negara diminimalkan dalam perdagangan dan menganggap keseimbangan ekspor-impor terjadi secara otomatis. Islam menegaskan bahwa perdagangan luar negeri merupakan bagian dari hubungan negara dengan bangsa lain yang harus tunduk pada kendali penuh negara sesuai dengan hukum Islam.2
Karena itu, neraca perdagangan bukanlah indikator utama dalam ekonomi Islam, yang menentukan keberhasilan perdagangan luar negeri. Pasalnya, Negara Islam melihat perdagangan luar negeri memiliki tujuan strategis seperti diplomasi politik, penguatan industri domestik, pemenuhan kebutuhan masyarakat atau misi dakwah. Dalam kondisi tertentu, negara dapat membiarkan neraca perdagangan tidak seimbang untuk mencapai tujuan yang lebih luas, seperti membangun industri domestik yang membutuhkan impor barang modal yang besar.
Negara Islam memiliki wewenang untuk mengatur semua aspek perdagangan internasional sesuai dengan kepentingan umat dan negara. Hal ini mencakup kewenangan untuk melarang ekspor komoditas tertentu, membolehkan sebagian lainnya, mengatur pedagang kafir harbi dan kafir mu’ahid yang terikat perjanjian, serta mengawasi warga negaranya dalam perdagangan internasional sebagaimana perdagangan domestik.
Rakyat Negara Islam, baik Muslim maupun dzimmi, dilarang keras mengekspor bahan-bahan strategis yang dapat digunakan untuk kepentingan perang oleh musuh, seperti senjata dan peralatan militer lainnya. Hal ini didasarkan pada larangan membantu musuh dalam berperang melawan kaum Muslim. Namun, mereka dibolehkan mengekspor barang-barang non-strategis seperti pakaian, makanan dan barang kebutuhan umum lainnya; kecuali jika barang tersebut sedang dibutuhkan oleh rakyat dalam negeri karena kelangkaan. Sementara itu, dalam hal impor, rakyat Negara Islam dibolehkan memasukkan semua jenis barang yang halal untuk dimiliki tanpa ada pembatasan khusus. Tidak ada larangan bagi Muslim atau dzimmi untuk mengimpor barang dari luar negeri selama barang tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam dan tidak membahayakan kepentingan negara dan masyarakat Muslim.
Prinsip ini bertolak belakang dengan konsep perdagangan bebas yang membatasi intervensi negara dengan meminimalkan tarif dan non-tarif seperti yang diserukan oleh konsep Washington Consensus3. Meskipun demikian, Negara Islam tidak berarti harus menerapkan kebijakan proteksionisme atau merkantilisme, sebagaimana yang berlangsung terutama pada masa kolonial Eropa abad 16-18. Merkantilisme adalah sistem ekonomi saat pemerintah mengendalikan perdagangan untuk memaksimalkan ekspor, meminimalkan impor dan mengumpulkan kekayaan nasional; sering melalui monopoli, tarif tinggi dan proteksi terhadap industri lokal.
Negara Islam dapat melakukan embargo ekonomi dengan melarang ekspor minyak dan gas ke negara-negara yang memusuhi Islam atau menolak impor dari mereka, yang memiliki pangsa pasar yang sangat besar. Sebaliknya, ia dapat memperkuat kerjasama perdagangan dengan memberikan preferensi perdagangan kepada negara-negara yang potensial menjadi bagian dari Negara Islam. Ia juga dapat mengembangkan kebijakan perdagangan yang sejalan dengan syariah Islam dengan tujuan mengembangkan industri dalam negeri, khususnya yang belum matang untuk bersaing atau infant industries. Hal ini bertujuan agar tidak bergantung pada impor, mampu menciptakan lapangan kerja bagi penduduk Negara Islam secara signifikan, dan kemaslahatan umat.
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., kebijakan penurunan tarif perdagangan untuk kepentingan domestik juga pernah diterapkan. Dalam Kitab Al-Amwâl disebutkan bahwa “Umar biasa mengambil dari orang-orang Nabath non-Arab dari minyak zaitun dan gandum setengah usyur, yaitu 5%, agar lebih banyak yang dibawa ke Madinah, dan mengambil dari kapas usyur penuh, yaitu 10%.”4
Perlindungan industri domestik juga telah diterapkan oleh negara-negara industri pada masa-masa awal pembangunan industri mereka. Inggris, misalnya, menerapkan tarif tinggi untuk barang-barang impor dan tarif rendah untuk barang-barang bahan baku industri manufaktur. Negara itu juga menerapkan subsidi atas barang-barang ekspor agar kompetitif di negara lain. Negara ini juga mengontrol kualitas barang ekspor agar produsen yang tidak bertanggung jawab tidak merusak reputasi produk Inggris di pasar internasional.5
Pada tahun 1821, tarif impor Inggris mencapai 45-55 persen, sementara AS sebesar 35-45 persen. AS bahkan mempertahankan tarif tinggi hingga pernah mencapai 48 persen pada tahun 1931.6 Tarif tinggi diterapkan untuk melindungi dan memajukan sektor manufaktur baru di wilayah Utara Amerika.7
Aktivitas perdagangan di negara-negara Islam juga bertujuan untuk mengakumulasi devisa. Tujuannya untuk meningkatkan cadangan emas dan perak demi mendukung penerapan standar emas dan perak, serta mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang, khususnya melalui proses industrialisasi. Devisa yang memadai sangat penting pada tahap awal industrialisasi, yang membutuhkan investasi besar untuk mengembangkan industri manufaktur berteknologi tinggi. Untuk mendukung strategi ini, negara-negara Islam dapat memaksimalkan ekspor komoditas unggulan, seperti migas dan minyak kelapa sawit guna memperoleh mata uang kuat seperti dolar AS, Euro, atau Yen, yang diperlukan untuk mengimpor barang dan jasa penting bagi perekonomian domestik.
Devisa tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengimpor mesin-mesin produksi canggih, pembelian lisensi teknologi, perekrutan tenaga ahli, kerjasama (joint venture) baik dari aspek produksi ataupun penelitian dengan perusahaan asing, atau akuisisi teknologi melalui merger dan pembelian aset asing. Kemajuan industri Korea Selatan dan Cina banyak mengadopsi strategi tersebut. Hyundai, misalnya, dapat memproduksi kendaraan secara mandiri setelah menjalin joint venture dengan Ford dan Mitsubishi, lalu bekerjasama dan Ricardo dari Inggris dalam hal pengembangan teknologi. Lenovo mampu memimpin pasar komputer dengan signifikan setelah mengakuisisi divisi komputer IBM pada 2004. Kesuksesan produsen otomotif Cina, Geely, tak lepas dari kepemilikannya atas saham Volvo pada 2010.8
Dimensi dakwah dan jihad merupakan aspek paling unik dari konsep perdagangan Islam yang mengintegrasikan misi religius dengan strategi ekonomi. Negara Islam, misalnya, dapat meningkatkan program bantuan ekonomi dan finansial ke negara-negara yang membutuhkan bantuan kemanusiaan atau negara yang belum menjadi bagian dari negara Islam. Negara Islam juga akan mengarahkan perdagangan luar negerinya agar selaras dengan jihad fisabilillah. Salah satunya melalui pembangunan industri militer yang tangguh hingga mampu mengungguli kekuatan militer negara-negara lain.
Alhasil, sistem perdagangan dalam Islam memiliki keunikan yang menonjol karena mengintegrasikan dimensi ekonomi, politik dan dakwah dalam satu kerangka holistik yang berlandaskan syariah. Hal ini berbeda dengan pendekatan sistem kapitalisme yang berfokus pada keuntungan finansial semata. Negara Islam, dalam format Khilafah Islam, yang menerapkan Islam secara kâffah, memainkan peran sentral dengan mengatur perdagangan internasional untuk memperkuat kemandirian ekonomi, mendukung politik luar negerinya dalam bentuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia dan jihad fi-sabilillah. Dengan demikian, umat Islam di bawah Negara Islam tidak hanya menjadi pelaku ekonomi global tetapi juga menjadi lokomotif perubahan tatanan global yang mendorong perwujudan rahmatan lil-âlamîn.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis].
Catatan kaki:
- FOB (Free on Board): kepemilikan berpindah saat barang dimuat di kapal di pelabuhan asal; CIF (Cost, Insurance, and Freight): sama seperti FOB namun penjual menanggung biaya asuransi dan pengiriman.
- Lebih detail lihat: Taqîyuddîn an-Nabhânî, An-Ni“âm al-Iqticâdî fî al-Islâm, cet. 6 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2004), 288–309.
- Dani Rodrik, “Goodbye Washington Consensus, Hello Washington Confusion? A Review of the World Bank’s Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform,” Journal of Economic Literature 44, no. 4 (2006): 973–987.
- Abû ¿Ubayd al-Qâsim ibn Sallâm, Kitâb al-Amwâl, ed. Khalîl Mu%ammad Harrâs (Beirut: Dâr al-Fikr, n.d.), 641.
- Ha-Joon Chang, Bad Samaritans: The Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism (New York: Bloomsbury Press, 2008), 44.
- Ha-Joon Chang, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (London: Anthem Press, 2002), 17.
- Yi Wen, The Making of an Economic Superpower: Unlocking China’s Secret of Rapid Industrialization (Singapore: World Scientific, 2016), 10.
- Lebih detail lihat: Keun Lee, The Art of Economic Catch-Up: Barriers, Detours and Leapfrogging in Innovation Systems (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), chap. 3.








![[Nafsiyah] Nasihat Indah Ketika Merasa Lelah Menjadi Ibu dan Istri](https://amaniyat.com/wp-content/uploads/2023/05/Nasihat-Indah-Ketika-Merasa-Lelah-Menjadi-Ibu-dan-Istri-768x432.jpg)


