Muslimah News, KISAH INSPIRATIF — Suatu ketika, Thawus bin Kaisan pernah melihat Ali Zainal Abidin berdiri di bawah bayang-bayang Baitullah. Ia meratap penuh kegelisahan, seakan sedang berada di ambang kehancuran.
Ali Zainal Abidin menangis tersedu-sedu hingga menyayat hati orang-orang yang mendengarnya. Ia berdoa meminta perlindungan kepada Yang Maha Memberi Perlindungan. Ketika Thawus melihat Ali Zainal Abidin seperti itu, ia berhenti dan menunggu tangisan itu berhenti. Setelah selesai, Thawus pergi ke hadapannya dan berkata kepadanya, “Wahai cucu Rasulullah! Aku telah melihatmu meratapi keadaan dirimu. Padahal engkau mempunyai tiga keutamaan yang dapat mengamankanmu dari ketakutan.”
Kemudian Ali Zainal Abidin bertanya, “Apa ketiga keutamaan itu, wahai Thawus?” Thawus menjawab, “Pertama, engkau adalah cucu Rasulullah ﷺ. Kedua, engkau mendapatkan syafaat dari kakek buyutmu. Ketiga, engkau mendapatkan rahmat Allah.”
Ali Zainal Abidin menjawab, “Wahai Thawus! Sekalipun aku termasuk keturunan Rasulullah saw., tetapi keturunan itu tidak menjadikan diriku aman dari rasa takut akan siksa Allah. Itu setelah aku mendengar firman Allah Swt., ‘Maka apabila sangkakala ditiup, tidak ada lagi pertalian keturunan di antara mereka pada Hari Kiamat itu, dan tidak (pula) mereka saling bertanya.’ (QS Al-Mu’minun: 101).
Adapun tentang syafaat kakek buyutku kepadaku, sesungguhnya Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya, ‘Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka (malaikat) dan yang ada di belakang mereka. Mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang Dia ridai dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.’ (QS Al-Anbiya’: 28).
Tentang rahmat Allah itu, ia akan diberikan kepada orang yang selalu berbuat kebaikan, sebagaimana firman-Nya, “… Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.’” (QS Al-A’raf: 56).
Ketakwaan Ali Zainal Abidin memancarkan berbagai sifat mulia, perilaku terpuji, dan kesabaran yang tinggi. Catatan perjalanan hidupnya sarat dengan untaian kisah yang indah. Lembaran-lembaran sejarah hidupnya diukir dengan keluhuran sikapnya. (Hepi Andi Bastoni, 101 Kisah Tabiin, hlm.126).
Hikmah
Meski bernasab mulia dan menjadi ahlulbait Rasulullah saw., Ali Zainal Abidin tidak serta-merta mengandalkan nasabnya untuk mengharapkan ampunan Allah Taala. Ali tidak merasa memiliki derajat tinggi dibandingkan manusia lainnya, meskipun ia seorang cicit dari Rasulullah ﷺ. Tangisan Ali yang penuh kegelisahan meratapi keadaannya adalah hikmah bagi kita semua.
Pembuktian iman dan takwa seseorang kepada Allah Swt. tidak bisa mengandalkan nama besar atau nasab orang tua. Akan tetapi, ia harus mengusahakan sendiri iman dan takwa tersebut dengan memahami hakikatnya, membangun idrak sillah billah (kesadaran hubungan seorang hamba dengan Rabbnya), dan makin bertakarub kepada Allah Taala.
Selain itu, salah satu cara seorang hamba membentuk iman dan takwa yang kuat ialah bersikap muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Taala. Keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat hamba-Nya serta mengawasi perbuatannya bisa menjadi penghalang terbesar untuk bermaksiat kepada-Nya.
Dari Usamah bin Syarik ra., Rasulullah saw. bersabda, “Segala perbuatan yang Allah benci dari dirimu untuk dilakukan, maka janganlah kamu lakukan hal tersebut ketika kamu sendirian.“ (HR Ibnu Hibban). Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah Taala. [MNews/CJ-YG]
source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.








![[Nafsiyah] Nasihat Indah Ketika Merasa Lelah Menjadi Ibu dan Istri](https://amaniyat.com/wp-content/uploads/2023/05/Nasihat-Indah-Ketika-Merasa-Lelah-Menjadi-Ibu-dan-Istri-768x432.jpg)


