Muslimah News, KISAH INSPIRATIF — Ghiyast bin Yazid bercerita kepada kami dari Az Zuhri, “Saya adalah orang yang menyertai Ibrahim bin Hisyam pada saat ia berkuasa. Saya menjadi pendidik, penasihat, dan pemberi pertimbangan kepadanya.”
“Apakah di sini ada seseorang yang pernah bertemu dengan generasi salaf? Kami ingin mendengarkan nasihat darinya,” tanya Ibrahim bin Hisyam kepadaku. “Ada, yaitu Abu Hazim al-A’raj, sahabat Abu Hurairah,” jawabku.
Kemudian, Ibrahim bin Hisyam mengutus seseorang untuk mengundang Abu Hazim. Abu Hazim lalu datang memenuhi undangan Ibrahim bin Hisyam. “Bagaimana agar kita selamat dari apa yang saat ini kita sedang berada di dalamnya?” tanya Ibrahim bin Hisyam.
“Kalian menomorsatukan Allah daripada makhluk-Nya, mengambil harta dari sumber yang halal, lalu meletakkannya di tempat semestinya,” jawab Abu Hazim. “Siapakah yang sanggup melakukan itu?” tanya Ibrahim bin Hisyam. “Jika engkau menginginkan dari dunia sesuai dengan kadar yang mencukupi bagimu, hal paling sedikit dari dunia yang sebenarnya suduh cukup bagimu. Jika di dalam dunia tidak ada sesuatu yang bisa membuatmu merasa cukup, di dalamnya tidak ada satu pun yang akan bisa membuatmu kaya,” jawab Abu Hazim.
“Kenapa kita takut mati?” tanya Ibrahim bin Hisyam. Abu Hazim menjawab, “Hal itu karena engkau menjadikan kesenanganmu di pelupuk matamu, sehingga engkau merasa tidak akan meninggalkannya. Seandainya engkau meletakkannya di depanmu, niscaya engkau ingin segera mengejar dan meraihnya.”
“Wahai Amir, demi Allah, saya belum pernah mendengar kata-kata yang lebih baik dan lebih tepat daripada itu! Ia adalah tetanggaku sejak sekian tahun lalu, tetapi saya tidak mengenalnya dengan baik,” kata Az Zuhri kepada Ibrahim bin Hisyam.
“Tentu saja, wahai Ibnu Syihab. Seandainya saya termasuk orang berharta, niscaya engkau rajin duduk bersamaku dan mengenalku dengan baik,” kata Abu Hazim menimpali kata-kata Az Zuhri.
“Apakah engkau menyindirku, wahai Abu Hazim?” tanya Az Zuhri. “Benar. Bahkan, masih ada yang lebih keras lagi daripada itu. Dahulu ketika seseorang berilmu, maka ia merasa cukup dengan ilmunya dan tidak membutuhkan yang lainnya. Dahulu, para umaralah yang mendatangi ulama dan mencari pencerahan dari mereka. Hal itu sangat positif dan baik bagi keduanya, yakni para penguasa dan rakyat.
Adapun ketika kalian para ulama yang justru mendatangi umara, maka mereka tidak lagi mencari pencerahan dari kalian. Mereka akan berpikir bahwa para ulama mendatangi dan mengagungkan mereka. Ini karena di dunia ini tidak ada yang lebih utama dari para umara. Kondisi inilah yang mendatangkan bencana dari kedua pihak, yakni penguasa dan rakyat,” kata Abu Hazim. (Ibnu al-Jauzi, 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah)
Hikmah
Nasihat Abu Hazim bermakna bahwa ada etika yang harus dijaga antara hubungan ulama dan umara (penguasa). Seperti diketahui, Ibrahim bin Hisyam merupakan salah seorang penguasa pada masa Kekhalifahan Umayyah. Ia menjadi gubernur wilayah Madinah, Makkah, dan Thaif pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Saat itu, ia ingin mendengar nasihat dari ulama yang pernah bertemu dengan generasi sahabat Nabi ﷺ.
Dalam kisah tersebut, Abu Hazim memberi dua nasihat berharga kepada Ibrahim bin Hisyam. Pertama, memprioritaskan Allah dalam segala hal, mengambil harta halal, dan menempatkannya sebagaimana mestinya. Menjadi penguasa haruslah amanah, tidak boleh mengambil harta atau hak rakyat, tidak menzalimi mereka, juga bertanggung jawab mengurus dan melayani rakyat dengan baik. Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada Hari Kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hari ini sistem sekuler kapitalisme telah melahirkan pemimpin khianat yang merampas hak-hak rakyat untuk memperkaya diri mereka. Kelak, penguasa semacam ini akan dibalas Allah Swt. sebagaimana yang tersebut dalam hadis Nabi ﷺ. Para penguasa zalim bisa lepas dari hukuman di dunia, tetapi mereka tidak akan lepas dari hukuman Allah di akhirat.
Kedua, seorang pemimpin sudah semestinya mendatangi ulama dengan penuh keikhlasan hati, bukan sebaliknya. Sebabnya, kedudukan pemimpin atau penguasa berada di bawah ulama. Etika inilah yang mulai hilang dari kehidupan umat. Ulama sebagai garda terdepan umat melawan kezaliman penguasa. Bukan menjadi garda umara untuk melindungi kepentingan penguasa. Dalam sistem sekuler kapitalisme, ulama hanya menjadi penasihat ruhiyah tanpa bisa memberi pengaruh kepada penguasa untuk menetapkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Nabi ﷺ sudah mengingatkan kepada kita, “Sesungguhnya yang aku khawatirkan atas umatku adalah para imam atau pemuka agama yang menyesatkan.” (HR Abu Daud)
Semoga Allah Swt. menjauhkan kita dari umara dan ulama yang buruk dan menyesatkan. Semoga pula Allah menyegerakan bangkitnya sistem dan peradaban Islam yang akan melahirkan umara dan ulama bertakwa. [MNews/CJ-YG]
.
source
Tulisan ini berasal dari website lain. Sumber tulisan kami sertakan di bawah artikel ini.









![[Nafsiyah] Nasihat Indah Ketika Merasa Lelah Menjadi Ibu dan Istri](https://amaniyat.com/wp-content/uploads/2023/05/Nasihat-Indah-Ketika-Merasa-Lelah-Menjadi-Ibu-dan-Istri-768x432.jpg)





